KAJIAN DAN
DISKUSI
Di Aula Baru Masjid Istiqlal, Sumber, Solo
Hari Kamis, 22 Maret 2012 M (pukul 7.30 – 14.00)
Diselenggarakan atas kerjasama PSPI (Pusat Studi Peradaban
Islam) Solo dengan PKU (Program Kaderisasi Ulama’) ISID Gontor
Tim pembicara (ada 6 orang ustadz pembicara) dari PKU ISID
Gontor
Gratis: dapat snack, minuman & makan siang
Materi:
1. Kritik
terhadap Kurikulum Berbasis Kesetaraan Gender
2. Kritik atas
Metodologi Hermeneutika Al Quran Mazhab Yogya
3. Gerakan
Inkar Sunnah
4. Konsep Tuhan
Menurut Islam dan Agama-agama
5. Pluralisme
Liberal vs Toleransi Islam
6. Salafiyah:
sejarah dan konsepsi
Resume materi:
Kritik terhadap Kurikulum Berbasis Kesetaraan Gender
Ø Kesetaraan
gender meski sudah lama digaungkan,
pengaruhnya masih terasa hingga kini. Salah satu isu yang dikhawatirkan adalah
tentang adanya Kurikulum Berbasis Kesetaraan Gender (KBKG). Kurikulum ini
mungkin belum diterapkan secara resmi/formal, tetapi ide-ide dan pemikirannya
pada umumnya sudah diterapkan di sekolah-sekolah, baik dari tataran SD/MI
sampai perguruan tinggi, misalnya melalui kurikulum KTSP yang digunakan
sekarang ini.
Ø Dalam
kajiannya, pembicara menyampaikan beberapa contoh sebagai fakta (dilengkapi
dengan slide gambar bukti tulisan-tulisan dalam buku-buku pelajaran dan kurikulum
yang digunakan), yang semuanya menunjukkan bahwa paham kesetaraan gender sudah
menjamah kurikulum sekolah-sekolah tersebut. Kurikulum ini ternyata sudah
merambah baik tingkat Ibtida’iyyah, tsanawiyah, ‘aliyah dan bahkan perguruan
tinggi Islam.
Ø Yang dikhawatirkan
adalah: jika keberadaan KBKG tersebut, yang basisnya adalah paham kesetaraan
gender (yang mana KBKG hanyalah salah satu bentuk penyebaran paham ini),
mengganggu atau bahkan mengalahkan syariat Islam. Jadi, “demi kesetaraan
gender, syariat dikalahkan” atau “syariat harus mengikuti kesetaraan gender”
(syariat didekonstruksi). Inilah permasalahan yang menyebabkan kekhawatiran
tersebut.
Ø Berikutnya
membahas mengenai kesetaraan gender. Kesetaraan gender, yang pernah dibahas di
salah satu seminar/pertemuan internasional di cina, sebenarnya hanya
mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan wanita dalam tataran
sosiologis-ekonomis, yakni permasalahan-permasalahan umum seperti: kekerasan
terhadap wanita, perekonomian dan wanita, dan sejenisnya. Tetapi hal tersebut
menjadi masalah ketika disangkutpautkan dengan Islam. Islam dianggap tidak
memberikan keadilan terkait hak dan kewajiban antara laki-laki dengan
perempuan. Seperti misalnya: hak warisan bagi laki-laki adalah 2 kali bagian
perempuan, adanya kebolehan poligami bagi laki-laki dan tidak bagi wanita, dan
sebagainya.
Ø Yang lebih
parah adalah ketika kalangan pengusung kesetaraan gender (biasanya kalangan
penganut SEPILIS-Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme) mengusulkan adanya
dekonstruksi syariat Islam, salah satunya terkait dengan isu kesetaraan gender
ini, di mana aturan-aturan baku seperti: imam shalat, pemimpin negara, pemimpin
keluarga, hak untuk men-thalaq istri bagi laki-laki, bagian warisan antara
laki-laki dan perempuan, dan sejenisnya itu diotak-atik dengan dalih agar
“sesuai dengan kebutuhan kekinian” (dalam hal ini kesetaraan gender). Argumen
mereka (sebagaimana yang umumnya mereka gaung-gaungkan) adalah syariat Islam
itu berlaku sesuai dengan konteks sejarah dan budaya bangsa/masyarakatnya. Jadi
syariat yang tersebutkan di atas tadi itu dianggap sesuai dengan masa
Rasulullah SAW hidup saja, tidak sesuai lagi dengan keadaan kini. Menurut
mereka, kini wanita telah memiliki peran dan menduduki posisi penting di
berbagai ranah kehidupan, sehinggan aturan-aturan syariat yang seperti di atas
harus diganti sesuai dengan keadaan kekinian. Inilah yang disebut dengan
dekonstruksi syariat Islam, dan inilah juga yang dikhawatirkan.
Ø Oleh karena
itu, isu kesetaraan gender, maupun KBKG ini perlu diwaspadai. Tidak mungkin
mengalahkan syariat dengan dalih kesetaraan gender. Syariat dinomorduakan.
Bahkan lebih parah lagi, syariat didekonstruksi agar sesuai dengan kebutuhan
(lebih tepatnya “keinginan hawa nafsu-red”).
Ø Kritik
terhadap kurikulum berbasis kesetaraan gender (berdasarkan tinjauan aspek-aspek
kurikulum dan teori-teori serta filsafat kurikulum):
1. Kurikulum (terutama yang berkaitan dengan Islam)
hendaknya dapat membentuk siswa didik menjadi hamba Allah yang setia SEJALAN
DENGAN STATUS DAN FITHRAHNYA --- Jalaluddin-Teologi Pend., hal.169 ---
2. Dua aspek penting kurikulum: (1) pengklasifikasian
ilmu pengetahuan yang disesuaikan dengan PSIKOLOGI PERKEMBANGAN; (2) manusia
berikut POTENSI YANG DIBAWANYA SEJAK LAHIR (termasuk ketika ditaqdirkan menjadi
laki-laki maupun perempuan-red) --- Abidin
Ibnu Rusn ---
3. Salah satu tugas perkembangan dalam psikologi
perkembangan adalah BELAJAR PERAN SESUAI DENGAN JENIS KELAMINNYA --- Robert J. Havighust ---
4. Dari segi komponen isi, yang digunakan dalam pelajaran
agama Islam adalah logika barat. Dari segi komponen proses, penggunaan
perspektif gender di Perguruan Tinggi pada setiap mata kuliah Islam itu
menjembatani westernisasi (pembaratan). Ini merupakan sebuah kerancuan.
Terlebih, kurikulum seperti ini mengarahkan masyarakat untuk menganulir syariat
Islam.
Kritik atas Hermeneutika Al Quran Mazhab Yogya
Ø Pembicara
adalah alumni UIN Yogyakarta. Dikenal sebagai ‘mahasiswa yang mendebat dosennya
sendiri’. Beliau berani mengkritisi dan mendebat pemahaman dosennya yang
cenderung terpengaruh paham liberal, dalam hal ini masalah penafsiran Al Quran
menggunakan “Hermeneutika Tafsir Madzhab Yogya” yang disusun oleh beberapa tim
cendekiawan/intelektual dari UIN Yogya.
Ø Beliau
(pembicara) memaparkan mengenai asal muasal adanya ide hermeneutika dalam
tafsir Quran oleh cendekiawan-cendekiawan muslim liberal di Indonesia, kemudian
bagaimana terbentuk ide tentang tafsir Madzhab Yogya tersebut. Beliau juga
memaparkan definisi, konsep, argumen, sekaligus bantahan atas argumen dan
metode tafsir baru ini.
Ø Intinya:
tafsir Madzhab Yogya ini disusun oleh beberapa tokoh cendekiawan dari UIN
Yogya, yang pemikiran awalnya muncul berdasarkan beberapa kajian dan seminar
yang dilakukan oleh beberapa tokoh cendekiawan muslim ternama (baik di
Indonesia maupun luar Indonesia- yang ternyata sudah terpengaruh paham
liberal). Menyadur dari pendapat berbagai tokoh yang mengkaji hermeneutika,
termasuk dari kalangan orientalis dan pemikir-pemikir barat.
Hermeneutika merupakan suatu metode yang digunakan
untuk memahami sebuah literatur/teks sesuai dengan konteks dan kondisi
munculnya literatur/teks tersebut, dan dapat disesuaikan dengan konteks
kekinian. Salah satu contoh penerapan hermeneutika ini adalah pada kitab suci
umat nasrani, karena memang awalnya hermeneutika ini menjadi bidang ilmu untuk
mengkaji kitab bible. Ada beberapa pendekatan dalam hermeneutika: (1) aspek
subyektif, yakni bagaimana posisi dan sudut pandang orang yang mengkaji
literatur/teks tersebut; (2) sesuai konteks dan kondisi historis dari literatur/teks
tersebut. Perpaduan keduanyalah yang digunakan dalam kajian hermeneutika secara
sempurna. Salah satu hal yang penting adalah hermeneutika mengandung unsur
relativitas (ketidakpastian/relatif). Poin ini perlu diperhatikan, karena kita
mengenal bahwa paham relativitas inilah yang juga mendasari beberapa paham
menyimpang lainnya, seperti liberalisme, sekulerisme dan pluralisme.
Relativitas berarti ketidakpastian, sesuai konteks yang dimaksud. Jika yang
dimaksudkan adalah kajian dalam menafsirkan Al Quran, maka relativitas berarti Al
Quran memiliki kandungan yang sifatnya relatif. Pemikiran inilah yang
menimbulkan pemahaman bahwa “Al Quran memang teksnya otentik (tidak ada
perubahan), tetapi maknanya bisa berubah sesuai waktu dan kondisi”. Dan
parahnya, ini tidak hanya berimbas pada makna dari ayat-ayat Al Quran saja,
tetapi juga pada syariat-syariat/aturan-aturan dalam Islam, seperti hukum hudud
(pidana), hukum waris, hijab bagi wanita, poligami dan sejenisnya. Semua aturan
itu dapat diubah dengan alasan “sesuai konteks dan kondisi kekinian orang
Indonesia”. Dan inilah bidang garap dalam tafsir menggunakan hermeneutika ini,
yakni menafsirkan Al Quran sesuai waktu dan kondisi bangsa/masyarakat tertentu
(menurut mereka).
Hermeneutika dianggap merupakan suatu metode tafsir
yang lebih komprehensif daripada metode tafsir-tafsir klasik, karena antara
lain:
-
Tafsir klasik hanya berdasarkan pendekatan
tekstual-literal (kebahasaan) dan sejarah (asbabun nuzul), sedangkan hermeneutika
lebih lengkap, karena ada tinjauan sosio-kultural juga
-
Kitab-kitab tafsir klasik diragukan kredibilitasnya,
karena (menurut mereka) dikhawatirkan adanya pangaruh dari diri para mufassir
(ulama penafsir Quran) yang berimbas pada tafsir yang ditulisnya. Kitab klasik
dianggap tidak independen karena bersifat subyektif (hanya dari sudut pandang
penafsirnya-menurut mereka)
Bantahan atas argumen-argumen
tersebut adalah:
-
Objek yang umumnya digunakan dalam kajian hermeneutika
ada 2 macam: (1) bersifat sains dan (2) bersifat sosial. Keduanya merupakan
objek yang bisa berubah-ubah karena memang dinamis. Hal-hal yang bersifat sains
selalu mengalami perubahan, demikian pula kenyataan fisik yang ada di dunia ini
selalu dinamis (bergerak dan berubah). Begitu juga dengan hal-hal yang bersifat
sosial, selalu berubah-ubah, seperti: psikologis seseorang, kultur/budaya suatu
kaum atau masyarakat, politik, ekonomi, dan sejenisnya.
Sedangkan
dalam tafsir, yang dikaji adalah Al Quran. Dan sudah kita ketahui bersama bahwa
al Quran itu statis/tetap, tidak berubah-ubah. Keotentikannya sudah diakui.
Sehingga tidak relevan jika hermeneutika digunakan, karena relativitas hanya
dapat digunakan dalam objek yang bersifat relatif juga, seperti objek-objek
sains dan sosial. Bukan dalam objek yang sudah baku dan pasti.
-
Hermeneutika sumbernya dari seorang filsuf bernama
Hermes dan berdasarkan tradisi Yunani, Kristen, Barat dan Filsafat. Sedangkan
tasfir bersumber dari Nabi Muhammad SAW dan berdasarkan tradisi para
intelektual Muslim (termasuk generasi salaf-red).
Tentu ini merupakan dua hal yang sangat berbeda.
-
Teks Bible yang digunakan dalam hermeneutika bersifat
problematis, tidak final, tidak tetap dan berubah-ubah. Sedangkan teks Al Quran
bersifat final, tetap, tidak berubah, otentitas dan otoritas terjaga.
Ø Kritik
metodologi dan implikasi dari penerapan tafsir mazhab yogya:
-
Metode tafsir mazhab yogya yang relatif, dinamis dan
tanpa prosedur yang jelas itu akan berimplikasu pada tidak pahamnya umat Islam
secara pasti akan kebenaran Al Quran.
-
Secara epistemologis antara lain: mendekonstruksi
konsep wahyu, merelatifkan kebenaran tafsir Al Quran.
-
Secara hukum: menafsirkan ayat secara “tebang pilih”,
mendekonstruksi hukum Islam, menjadikan Al Quran sebagai justifikasi realitas
(bukan sebagai pedoman normatif-red)
- Teori yang ditawarkan masih terlalu umum dan kabur,
terlalu dominan kritik terhadap ulama klasik / salaf, tidak ada hal yang baru
(karena sebenarnya hanya ‘menjiplak’ teori-teori orientalis dan semacamnya-red), dan belum layak disebut mazhab
(jika dibandingkan dengan mazhab-mazhab Islam yang sudah terkenal-red)
Ø Maraknya
pendukung hermeneutika barangkali disebabkan karena:
-
Terlanjur gandrung dengan segala yang baru dan yang
barat (“everything is new and everything western”)
- Hal tersebut merupakan dampak dari “krisis identitas”
yang menghinggapi sejumlah pemikir muslim
Gerakan Inkar Sunnah
Ø Inkar Sunnah
berarti suatu paham atau gerakan/kelompok yang mengingkari sunnah. Ingkar di
sini (berdasarkan KBBI) berarti menyangkal, tidak mau menerima. Sedangkan yang
dimaksud dengan sunnah, yakni al hadits. Singkatnya, mereka adalah golongan
yang hanya memakai Quran sebagai panduan, dan menolak hadits sebagai rujukan.
Ø Kelompok
ini mulai muncul pada abad ke 2 hijriyah, dari sebuah kisah di mana Imam Syafi’i
didatangi oleh seseorang yang mendebat beliau tentang kegunaan sunnah/hadits
sebagai pedoman/rujukan. Orang ini disinyalir sebagai pengikut (atau
terpengaruh) paham mu’tazilah. Dengan kecerdasan dan kemampuan akalnya, Imam
Syafi’i berhasil mematahkan argumen orang tersebut sehingga orang ini akhirnya
mau menerima sunnah. Kemudian paham ini menghilang dan baru muncul kemudian di
abad ke 13 hijriyah, yang mulai tersebar dari India, ke Mesir, kemudian
akhirnya sampai ke Indonesia dan Malaysia.
Ø Kelompok ini
memiliki beberapa argumen:
-
Hadits tidak relevan lagi digunakan karena hadits
dikeluarkan oleh diri Rasulullah sendiri, sedangkan beliau juga manusia biasa
yang bisa salah. Jadi hadits dianggap bersifat zhanni. Sedangkan Quran memang wahyu dari Allah, sehingga bisa
diyakini kebenarannya (bersifat qath’i).
-
Kajian keilmuan hadits baru muncul belakangan
sepeninggal Rasulullah wafat, selain itu juga muncul dalam waktu yang lama (50
tahun lebih). Dan di dalamnya ditemukan macam-macam hadits, seperti mutawatir,
ahad, dan sebagainya. Artinya hadits ternyata meragu-ragukan, tidak jelas
kebenarannya, karena ada pengklasifikasian: ada yang mengatakan ahad, ada yang
mengatakan dha’if, dan seterusnya. Berbeda dengan Quran yang tidak membutuhkan
pengklasifikasian semacam ini.
-
Ada sebuah hadits Rasulullah, yang intinya Rasulullah
pernah melarang sahabat untuk menulis hadits. Yang diperintahkan untuk ditulis
hanyalah Quran.
Bantahan atas argumen-argumen
tersebut:
-
Banyak ayat-ayat dalam Quran yang memerintahkan untuk
mentaati Rasulullah. Dan Rasulullah sendiri banyak memberikan perintah,
larangan, dan ajaran-ajaran lain melalui hadits. Jadi kalau memang mengikuti
Quran, pasti mau mengikuti hadits, karena banyak ayat-ayat dalam Quran yang
memerintahkan seperti itu.
-
Jika paham inkar sunnah ini benar-benar diterapkan
secara konsisten, maka akan banyak ajaran-ajaran Islam yang hilang atau
berubah. Misal: (1) shalat wajib 5 waktu sehari, akan menjadi 3 waktu sehari,
karena di dalam Quran hanya ada 3 waktu shalat wajib yang disebutkan (subuh,
asar, isya); (2) syahadat berubah menjadi “isyhadu bi anna muslimuun”, bukan
“asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammad ar-rasuulullaah”
karena memang tidak ada dalam Quran; (3) tidak ada tata cara penguburan jenazah
dalam Quran, jadi bagaimana cara menguburkan jenazah untuk orang-orang
inkarussunnah? ; (4) dan lain-lain.
-
Penulisan hadits dan kajian ilmu hadits merupakan
kemaslahatan yang sangat besar. Rasulullah melarang untuk menulis hadits pada
masa itu, karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Quran. Setelah Quran sudah
dibukukan, maka hadits pun juga bisa ditulis karena tidak dikhawatirkan akan
tercampur dengan Quran, dan agar lebih mudah dipelajari oleh kaum muslimin. Ini
sama halnya dengan pembukuan Quran, di mana di masa Rasulullah tidak ada yang
namanya pembukuan semacam ini. Tetapi ini perlu dilakukan untuk kemaslahat yang
besar dan menghindari madharat yang besar pula (yakni hilangnya teks atau hafalan,
baik Quran maupun hadits).
-
Adanya pengklasifikasian hadits bukan berarti
meragukan kebenaran hadits sebagai pedoman. Karena jelas dalam Quran disebutkan
perintah untuk mentaati ajaran Rasulullah, dan Rasulullah memberikan banyak
ajaran Islam melalui hadits.
Konsep Tuhan Menurut Islam dan Agama-agama
Ø Pembicara memaparkan
mengenai isu pluralisme, yang pada intinya adalah “setiap agama merupakan jalan
menuju kebenaran, dengan langkah dan cara-cara yang berbeda” dan “semua agama
pada hakikatnya memiliki 1 Tuhan, tetapi dalam nama yang berbeda-beda sesuai
agama masing-masing”. Ini juga merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh
beberapa pemikir dan cendekiawan agama dari kalangan orientalis dan barat.
Ø Penyebaran
paham pluralisme ini tidak lepas dari unsur politis dan kepentingan beberapa
pihak, dengan salah satu buktinya yakni adanya pendanaan yang besar dari barat
untuk pelaksanaan program-program pluralisme ini. Ada beberapa kalangan gereja
(pastor) yang setuju penyebaran paham pluralisme, tetapi jangan di kalangan
orang kristen. Meski demikian ada juga sebagian kalangan gereja yang juga mau
menerima paham ini.
Ø Pembicara
memaparkan kajian tentang 5 agama utama (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha)
secara ilmiah. Masing-masing agama tersebut dikaji, bagaimana konsep
ketuhanannya, apa dan bagaimana sumber pedomannya (kitab sucinya). Titik tekan
pada konsep ketuhanan, yang berkaitan dengan pedoman/kitab sucinya.
Ø Kesimpulannya:
masing-masing agama tersebut memiliki konsep ketuhanan sendiri-sendiri, dan
pedoman yang berbeda pula. Satu sama lain tidak ada sangkut-pautnya. Terutama
Islam, karena jelas bahwa konsep ketuhanan Islam tidak membuka pintu ijtihad
(artinya bersifat qath’i, diyakini apa adanya); Allah mengenalkan diri-Nya
sendiri sebagai satu-satunya Tuhan. Berbeda dengan agama lain:
-
Yahudi: berpedoman pada talmud, yang ada kontroversi
di dalamnya.
- Kristen: trinitas, yang sebenarnya tidak ada ayat
dalam injil yang mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan.
-
Hindu: Ada bermacam-macam Dewa.
-
Buddha: ada dikotomi Tuhan.
Jika memang berbeda, kenapa
disamakan.
Pluralisme Liberal vs Toleransi Islam
Ø Isu utama
yang dimunculkan adalah bahwa liberalisme merupakan solusi untuk menghilangkan
fanatisme agama dan dapat menciptakan kerukunan umat beragama. Dengan kata
lain, konsep ini menyerupai dengan pluralisme. Paham-paham liberal dimasukkan
ke dalam pemahaman para pemeluk agama agar tidak merasa paling benar sendiri,
sehingga bisa menghormati kebenaran agama lain. Jadi, kerukunan umat beragam
yang dimaksud adalah toleransi untuk bisa menerima agama lain dalam tataran
teologis (ideologi / keyakinan-keyakinan pokok). Prakteknya, muncul
kegiatan-kegiatan seperti: do’a bersama antar agama, natalan bersama, pengajian
bersama, nikah lintas agama, dan sebagainya.
Ø Toleransi
sebenarnya adalah sikap menerima sesuatu yang ada pada diri orang lain apa
adanya. Jadi, sekiranya menurut kita dia salah, tetap kita katakan bahwa dia
salah dan kita terima kenyataan tersebut. Dalam konteks agama Islam, toleransi
dapat diistilahkan dengan tasamuh (bermudah-mudah), yakni bermudah-mudah dengan
pemeluk agama lain dalam hal
Ø Toleransi
yang digaungkan oleh kalangan liberal adalah toleransi yang rancu dan tidak
bisa diterima secara nalar/logis. Implikasinya justru akan membuat masalah
ataupun kerancuan yang baru. Jika toleransi yang dimaksud sudah menjamah tataran
teologis, maka pasti akan menyebabkan melemahnya gairah/semangat para pemeluk
agama terhadap agamanya sendiri. Mereka akan menjadi malas beribadah, karena
merasa bahwa agama lain juga benar sehingga keyakinan pada ajaran agamanya
sendiri meluntur. Dan ini pernah terbukti di eropa, di mana sedikit orang yang
mau berangkat ke gereja. Bagi mereka, agama menjadi urusan pribadi, sehingga
tidak mau atau malas membicarakannya di ranah publik. Sekulerisme pun
berkembang, sehingga ajaran agama tidak bisa menjamah aspek-aspek kehidupan
manusia yang lain. Ujung-ujungnya justru akan menghilangkan eksistensi agama
dari kehidupan manusia, karena keimanan mereka pada agama sudah meluntur. Unsur
relativitas kembali berperan di sini, di mana kebenaran adalah relatif, tidak
bisa diklaim oleh salah satu agama saja. Relativitas akan menjadi agama baru,
dan dampaknya begitu besar pada kehidupan masyarakat. Moralitas akan menurun
drastis, dan pastilah kegoncangan batin/ruhani akan melanda umat manusia jika
mengikuti relativitas ini.
Ø Islam telah
mengenal toleransi lebih dari pada apa yang digaung-gaungkan oleh para
pengusung liberalisme ini, bahkan toleransi adalah bagian dari ajaran Islam.
Toleransi dalam Islam tidak sekedar teori tanpa bukti seperti yang diusung oleh
para penyeru SEPILIS itu. Toleransi dalam Islam ada teorinya dan ada praktek
nyata yang telah tercatat dalam lembaran sejarah. Di antaranya:
-
Disebutkan dalam riwayat sejarah, ketika masa
kekhalifahan Umar bin Khatthab. Ketika itu beliau melakukan penaklukkan-penaklukkan
sehingga wilayah kekuasaan Islam meluas. Ada kisah pengakuan seorang pendeta
kristen yang ketika pasukan Islam menyerbu wilayah tersebut, dia merasa takut
jikalau pasukan Islam akan menghancurkan gereja dan membunuh semua orang
kristen yang tidak mau masuk Islam. Tetapi, ternyata kenyataannya berbeda 180
derajat dari apa yang dia bayangkan. Umat Islam saat itu tidak sedikitpun
merusak tempat-tempat ibadah dan tidak membunuh orang-orang yang tidak mau
masuk Islam. Mereka hanya diminta untuk membayar jizyah, dan setelah itu darah
dan harta mereka dijamin keamanannya. Demikian juga aktivitas ibadah mereka.
Karena
dalam Islam memang ada aturan yang jelas ketika berperang. Di antaranya
seperti: dilarang membunuh wanita, anak-anak dan orang tua; dilarang merusak
tempat-tempat ibadah, dilarang merusak pepohonan dan sebagainya. Setelah
wilayah ditaklukkan, penduduknya diminta masuk Islam. Bagi yang tidak bersedia,
maka diminta untuk membayar jizyah sebagai gantinya, dan akan dilindungi harta
dan darahnya. Jizyah yang ditetapkan bagi kafir dzimmi itu pun bagi mereka yang
mampu. Yang tidak tetap diberi perlindungan. Jadi, Islam menaklukkan suatu
wilayah untuk membuka (pintu Islam), membebaskan dan memberikan kedamaian
kepada penduduk wilayah tersebut.
Berbeda
dengan pasukan salib yang pernah membantai ratusan ribu kaum muslimin pada masa
itu; ataupun pasukan amerika dan sekutunya kini yang menyerang, menjarah serta
menteror negeri-negeri Islam di timur tengah secara membabi buta, hanya
menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan.
-
Islam tidak memaksakan hal-hal yang berat kepada
umatnya. Ketika ada kondisi-kondisi yang berat, Islam memberikan rukhshah terhadap beberapa ibadah.
Dengan demikian, pemeluknya tetap bisa menjalankan ibadah dengan lebih mudah
dalam kondisi yang sulit tersebut.
-
Islam mengajarkan untuk berlaku baik dalam muamalah
kepada semua orang, baik muslim maupun non-muslim, selama mereka tidak
memerangi Islam. Rasulullah sendiri mengatakan bahwa barangsiapa mengganggu
kafir dzimmi maka beliau lah yang akan menjadi musuhnya. Demikian juga dalam
adab-adab bertetangga, Islam mengajarkan untuk memperlakukan tetangga dengan
baik, baik mereka muslim maupun non-muslim.
-
Dalam sejarah, pernah orang-orang non-muslim diberi
beberapa jabatan di pemerintahan (yang tidak strategis), seperti sekretaris dan
sejenisnya. Ini pernah terjadi pada masa kekhalifahan Turki Utsmani yang saat
itu dipimpin Sultan Sulaiman Agung (1520 - 1566). Ini menunjukkan bahwa Islam
memang bertasamuh dalam hal muamalah yang sama-sama mendatangkan maslahat.
-
Dan lain sebagainya. Ajaran Islam selalu memberikan
kemaslahatan.
Ø Jadi,
toleransi dalam Islam begitu luas, tetapi tidak masuk dalam ranah teologis.
Toleransi berlaku dalam ranah muamalah, dan inilah yang logis secara nalar (dan
tentunya terasa pas di hati), serta secara fakta di lapangan maupun dari
lembar-lembar sejarah telah dibuktikan dengan nyata. Selain itu, dengan adanya
bukti riil dalam sejarah seperti itu, maka jangan lagi takut jika Islam
berkuasa di Indonesia, karena Islam menguasai untuk menebar kebaikan dan
keadilan.
Salafiyah: Sejarah dan Konsepsi
Ø Tujuan
utama diadakannya pembahasan ini berkaitan dengan ukhuwah Islamiyah sesama
muslim, yakni saling mengingatkan satu sama lain. Ini hal penting yang perlu
dipahami, sehingga tidak salah niat dan tujuan ketika membahas hal ini. Sekali
lagi, untuk ukhuwah Islamiyah, mengingatkan saudara sesama muslim.
Ø Pembicara
memberikan bahasan awal mengenai apa itu salaf, salafiyah/salafy, sejarah
berdirinya, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara umum. Salah satu poin
penting yang ditekankan adalah, di sini yang dibicarakan adalah ‘sebagian kaum
muslimin yang menyatakan diri bermanhaj salaf, kemudian secara eksklusif mengklaim
benarnya pandapatnya dan menyalahkan (bahkan sampai menganggap menyimpang)
kelompok-kelompok Islam lain yang tidak sejalan dengan pendapatnya.
Digarisbawahi kata “eksklusif”, karena ini penting. Jadi yang disoroti dalam
pembahasan ini adalah yang eksklusif ini.
Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga
bermanfaat...