Sabtu, 31 Maret 2012


KAJIAN DAN DISKUSI

Di Aula Baru Masjid Istiqlal, Sumber, Solo
Hari Kamis, 22 Maret 2012 M (pukul 7.30 – 14.00)
Diselenggarakan atas kerjasama PSPI (Pusat Studi Peradaban Islam) Solo dengan PKU (Program Kaderisasi Ulama’) ISID Gontor
Tim pembicara (ada 6 orang ustadz pembicara) dari PKU ISID Gontor
Gratis: dapat snack, minuman & makan siang

Materi:
1.      Kritik terhadap Kurikulum Berbasis Kesetaraan Gender
2.      Kritik atas Metodologi Hermeneutika Al Quran Mazhab Yogya
3.      Gerakan Inkar Sunnah
4.      Konsep Tuhan Menurut Islam dan Agama-agama
5.      Pluralisme Liberal vs Toleransi Islam
6.      Salafiyah: sejarah dan konsepsi

Resume materi:

Kritik terhadap Kurikulum Berbasis Kesetaraan Gender

Ø  Kesetaraan gender  meski sudah lama digaungkan, pengaruhnya masih terasa hingga kini. Salah satu isu yang dikhawatirkan adalah tentang adanya Kurikulum Berbasis Kesetaraan Gender (KBKG). Kurikulum ini mungkin belum diterapkan secara resmi/formal, tetapi ide-ide dan pemikirannya pada umumnya sudah diterapkan di sekolah-sekolah, baik dari tataran SD/MI sampai perguruan tinggi, misalnya melalui kurikulum KTSP yang digunakan sekarang ini.
Ø  Dalam kajiannya, pembicara menyampaikan beberapa contoh sebagai fakta (dilengkapi dengan slide gambar bukti tulisan-tulisan dalam buku-buku pelajaran dan kurikulum yang digunakan), yang semuanya menunjukkan bahwa paham kesetaraan gender sudah menjamah kurikulum sekolah-sekolah tersebut. Kurikulum ini ternyata sudah merambah baik tingkat Ibtida’iyyah, tsanawiyah, ‘aliyah dan bahkan perguruan tinggi Islam.
Ø  Yang dikhawatirkan adalah: jika keberadaan KBKG tersebut, yang basisnya adalah paham kesetaraan gender (yang mana KBKG hanyalah salah satu bentuk penyebaran paham ini), mengganggu atau bahkan mengalahkan syariat Islam. Jadi, “demi kesetaraan gender, syariat dikalahkan” atau “syariat harus mengikuti kesetaraan gender” (syariat didekonstruksi). Inilah permasalahan yang menyebabkan kekhawatiran tersebut.
Ø  Berikutnya membahas mengenai kesetaraan gender. Kesetaraan gender, yang pernah dibahas di salah satu seminar/pertemuan internasional di cina, sebenarnya hanya mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan wanita dalam tataran sosiologis-ekonomis, yakni permasalahan-permasalahan umum seperti: kekerasan terhadap wanita, perekonomian dan wanita, dan sejenisnya. Tetapi hal tersebut menjadi masalah ketika disangkutpautkan dengan Islam. Islam dianggap tidak memberikan keadilan terkait hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Seperti misalnya: hak warisan bagi laki-laki adalah 2 kali bagian perempuan, adanya kebolehan poligami bagi laki-laki dan tidak bagi wanita, dan sebagainya.
Ø  Yang lebih parah adalah ketika kalangan pengusung kesetaraan gender (biasanya kalangan penganut SEPILIS-Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme) mengusulkan adanya dekonstruksi syariat Islam, salah satunya terkait dengan isu kesetaraan gender ini, di mana aturan-aturan baku seperti: imam shalat, pemimpin negara, pemimpin keluarga, hak untuk men-thalaq istri bagi laki-laki, bagian warisan antara laki-laki dan perempuan, dan sejenisnya itu diotak-atik dengan dalih agar “sesuai dengan kebutuhan kekinian” (dalam hal ini kesetaraan gender). Argumen mereka (sebagaimana yang umumnya mereka gaung-gaungkan) adalah syariat Islam itu berlaku sesuai dengan konteks sejarah dan budaya bangsa/masyarakatnya. Jadi syariat yang tersebutkan di atas tadi itu dianggap sesuai dengan masa Rasulullah SAW hidup saja, tidak sesuai lagi dengan keadaan kini. Menurut mereka, kini wanita telah memiliki peran dan menduduki posisi penting di berbagai ranah kehidupan, sehinggan aturan-aturan syariat yang seperti di atas harus diganti sesuai dengan keadaan kekinian. Inilah yang disebut dengan dekonstruksi syariat Islam, dan inilah juga yang dikhawatirkan.
Ø  Oleh karena itu, isu kesetaraan gender, maupun KBKG ini perlu diwaspadai. Tidak mungkin mengalahkan syariat dengan dalih kesetaraan gender. Syariat dinomorduakan. Bahkan lebih parah lagi, syariat didekonstruksi agar sesuai dengan kebutuhan (lebih tepatnya “keinginan hawa nafsu-red”).
Ø  Kritik terhadap kurikulum berbasis kesetaraan gender (berdasarkan tinjauan aspek-aspek kurikulum dan teori-teori serta filsafat kurikulum):
1.  Kurikulum (terutama yang berkaitan dengan Islam) hendaknya dapat membentuk siswa didik menjadi hamba Allah yang setia SEJALAN DENGAN STATUS DAN FITHRAHNYA  --- Jalaluddin-Teologi Pend., hal.169 ---
2.  Dua aspek penting kurikulum: (1) pengklasifikasian ilmu pengetahuan yang disesuaikan dengan PSIKOLOGI PERKEMBANGAN; (2) manusia berikut POTENSI YANG DIBAWANYA SEJAK LAHIR (termasuk ketika ditaqdirkan menjadi laki-laki maupun perempuan-red)  --- Abidin Ibnu Rusn ---
3.  Salah satu tugas perkembangan dalam psikologi perkembangan adalah BELAJAR PERAN SESUAI DENGAN JENIS KELAMINNYA --- Robert J. Havighust ---
4.   Dari segi komponen isi, yang digunakan dalam pelajaran agama Islam adalah logika barat. Dari segi komponen proses, penggunaan perspektif gender di Perguruan Tinggi pada setiap mata kuliah Islam itu menjembatani westernisasi (pembaratan). Ini merupakan sebuah kerancuan. Terlebih, kurikulum seperti ini mengarahkan masyarakat untuk menganulir syariat Islam.

Kritik atas Hermeneutika Al Quran Mazhab Yogya

Ø  Pembicara adalah alumni UIN Yogyakarta. Dikenal sebagai ‘mahasiswa yang mendebat dosennya sendiri’. Beliau berani mengkritisi dan mendebat pemahaman dosennya yang cenderung terpengaruh paham liberal, dalam hal ini masalah penafsiran Al Quran menggunakan “Hermeneutika Tafsir Madzhab Yogya” yang disusun oleh beberapa tim cendekiawan/intelektual dari UIN Yogya.
Ø  Beliau (pembicara) memaparkan mengenai asal muasal adanya ide hermeneutika dalam tafsir Quran oleh cendekiawan-cendekiawan muslim liberal di Indonesia, kemudian bagaimana terbentuk ide tentang tafsir Madzhab Yogya tersebut. Beliau juga memaparkan definisi, konsep, argumen, sekaligus bantahan atas argumen dan metode tafsir baru ini.
Ø  Intinya: tafsir Madzhab Yogya ini disusun oleh beberapa tokoh cendekiawan dari UIN Yogya, yang pemikiran awalnya muncul berdasarkan beberapa kajian dan seminar yang dilakukan oleh beberapa tokoh cendekiawan muslim ternama (baik di Indonesia maupun luar Indonesia- yang ternyata sudah terpengaruh paham liberal). Menyadur dari pendapat berbagai tokoh yang mengkaji hermeneutika, termasuk dari kalangan orientalis dan pemikir-pemikir barat.
Hermeneutika merupakan suatu metode yang digunakan untuk memahami sebuah literatur/teks sesuai dengan konteks dan kondisi munculnya literatur/teks tersebut, dan dapat disesuaikan dengan konteks kekinian. Salah satu contoh penerapan hermeneutika ini adalah pada kitab suci umat nasrani, karena memang awalnya hermeneutika ini menjadi bidang ilmu untuk mengkaji kitab bible. Ada beberapa pendekatan dalam hermeneutika: (1) aspek subyektif, yakni bagaimana posisi dan sudut pandang orang yang mengkaji literatur/teks tersebut; (2) sesuai konteks dan kondisi historis dari literatur/teks tersebut. Perpaduan keduanyalah yang digunakan dalam kajian hermeneutika secara sempurna. Salah satu hal yang penting adalah hermeneutika mengandung unsur relativitas (ketidakpastian/relatif). Poin ini perlu diperhatikan, karena kita mengenal bahwa paham relativitas inilah yang juga mendasari beberapa paham menyimpang lainnya, seperti liberalisme, sekulerisme dan pluralisme. Relativitas berarti ketidakpastian, sesuai konteks yang dimaksud. Jika yang dimaksudkan adalah kajian dalam menafsirkan Al Quran, maka relativitas berarti Al Quran memiliki kandungan yang sifatnya relatif. Pemikiran inilah yang menimbulkan pemahaman bahwa “Al Quran memang teksnya otentik (tidak ada perubahan), tetapi maknanya bisa berubah sesuai waktu dan kondisi”. Dan parahnya, ini tidak hanya berimbas pada makna dari ayat-ayat Al Quran saja, tetapi juga pada syariat-syariat/aturan-aturan dalam Islam, seperti hukum hudud (pidana), hukum waris, hijab bagi wanita, poligami dan sejenisnya. Semua aturan itu dapat diubah dengan alasan “sesuai konteks dan kondisi kekinian orang Indonesia”. Dan inilah bidang garap dalam tafsir menggunakan hermeneutika ini, yakni menafsirkan Al Quran sesuai waktu dan kondisi bangsa/masyarakat tertentu (menurut mereka).
Hermeneutika dianggap merupakan suatu metode tafsir yang lebih komprehensif daripada metode tafsir-tafsir klasik, karena antara lain:
-          Tafsir klasik hanya berdasarkan pendekatan tekstual-literal (kebahasaan) dan sejarah (asbabun nuzul), sedangkan hermeneutika lebih lengkap, karena ada tinjauan sosio-kultural juga
-          Kitab-kitab tafsir klasik diragukan kredibilitasnya, karena (menurut mereka) dikhawatirkan adanya pangaruh dari diri para mufassir (ulama penafsir Quran) yang berimbas pada tafsir yang ditulisnya. Kitab klasik dianggap tidak independen karena bersifat subyektif (hanya dari sudut pandang penafsirnya-menurut mereka)
Bantahan atas argumen-argumen tersebut adalah:
-          Objek yang umumnya digunakan dalam kajian hermeneutika ada 2 macam: (1) bersifat sains dan (2) bersifat sosial. Keduanya merupakan objek yang bisa berubah-ubah karena memang dinamis. Hal-hal yang bersifat sains selalu mengalami perubahan, demikian pula kenyataan fisik yang ada di dunia ini selalu dinamis (bergerak dan berubah). Begitu juga dengan hal-hal yang bersifat sosial, selalu berubah-ubah, seperti: psikologis seseorang, kultur/budaya suatu kaum atau masyarakat, politik, ekonomi, dan sejenisnya.
Sedangkan dalam tafsir, yang dikaji adalah Al Quran. Dan sudah kita ketahui bersama bahwa al Quran itu statis/tetap, tidak berubah-ubah. Keotentikannya sudah diakui. Sehingga tidak relevan jika hermeneutika digunakan, karena relativitas hanya dapat digunakan dalam objek yang bersifat relatif juga, seperti objek-objek sains dan sosial. Bukan dalam objek yang sudah baku dan pasti.
-          Hermeneutika sumbernya dari seorang filsuf bernama Hermes dan berdasarkan tradisi Yunani, Kristen, Barat dan Filsafat. Sedangkan tasfir bersumber dari Nabi Muhammad SAW dan berdasarkan tradisi para intelektual Muslim (termasuk generasi salaf-red). Tentu ini merupakan dua hal yang sangat berbeda.
-          Teks Bible yang digunakan dalam hermeneutika bersifat problematis, tidak final, tidak tetap dan berubah-ubah. Sedangkan teks Al Quran bersifat final, tetap, tidak berubah, otentitas dan otoritas terjaga.
Ø  Kritik metodologi dan implikasi dari penerapan tafsir mazhab yogya:
-          Metode tafsir mazhab yogya yang relatif, dinamis dan tanpa prosedur yang jelas itu akan berimplikasu pada tidak pahamnya umat Islam secara pasti akan kebenaran Al Quran.
-          Secara epistemologis antara lain: mendekonstruksi konsep wahyu, merelatifkan kebenaran tafsir Al Quran.
-          Secara hukum: menafsirkan ayat secara “tebang pilih”, mendekonstruksi hukum Islam, menjadikan Al Quran sebagai justifikasi realitas (bukan sebagai pedoman normatif-red)
-       Teori yang ditawarkan masih terlalu umum dan kabur, terlalu dominan kritik terhadap ulama klasik / salaf, tidak ada hal yang baru (karena sebenarnya hanya ‘menjiplak’ teori-teori orientalis dan semacamnya-red), dan belum layak disebut mazhab (jika dibandingkan dengan mazhab-mazhab Islam yang sudah terkenal-red)
Ø  Maraknya pendukung hermeneutika barangkali disebabkan karena:
-          Terlanjur gandrung dengan segala yang baru dan yang barat (“everything is new and everything western”)
-        Hal tersebut merupakan dampak dari “krisis identitas” yang menghinggapi sejumlah pemikir muslim


Gerakan Inkar Sunnah

Ø  Inkar Sunnah berarti suatu paham atau gerakan/kelompok yang mengingkari sunnah. Ingkar di sini (berdasarkan KBBI) berarti menyangkal, tidak mau menerima. Sedangkan yang dimaksud dengan sunnah, yakni al hadits. Singkatnya, mereka adalah golongan yang hanya memakai Quran sebagai panduan, dan menolak hadits sebagai rujukan.
Ø  Kelompok ini mulai muncul pada abad ke 2 hijriyah, dari sebuah kisah di mana Imam Syafi’i didatangi oleh seseorang yang mendebat beliau tentang kegunaan sunnah/hadits sebagai pedoman/rujukan. Orang ini disinyalir sebagai pengikut (atau terpengaruh) paham mu’tazilah. Dengan kecerdasan dan kemampuan akalnya, Imam Syafi’i berhasil mematahkan argumen orang tersebut sehingga orang ini akhirnya mau menerima sunnah. Kemudian paham ini menghilang dan baru muncul kemudian di abad ke 13 hijriyah, yang mulai tersebar dari India, ke Mesir, kemudian akhirnya sampai ke Indonesia dan Malaysia.
Ø  Kelompok ini memiliki beberapa argumen:
-          Hadits tidak relevan lagi digunakan karena hadits dikeluarkan oleh diri Rasulullah sendiri, sedangkan beliau juga manusia biasa yang bisa salah. Jadi hadits dianggap bersifat zhanni. Sedangkan Quran memang wahyu dari Allah, sehingga bisa diyakini kebenarannya (bersifat qath’i).
-          Kajian keilmuan hadits baru muncul belakangan sepeninggal Rasulullah wafat, selain itu juga muncul dalam waktu yang lama (50 tahun lebih). Dan di dalamnya ditemukan macam-macam hadits, seperti mutawatir, ahad, dan sebagainya. Artinya hadits ternyata meragu-ragukan, tidak jelas kebenarannya, karena ada pengklasifikasian: ada yang mengatakan ahad, ada yang mengatakan dha’if, dan seterusnya. Berbeda dengan Quran yang tidak membutuhkan pengklasifikasian semacam ini.
-          Ada sebuah hadits Rasulullah, yang intinya Rasulullah pernah melarang sahabat untuk menulis hadits. Yang diperintahkan untuk ditulis hanyalah Quran.
Bantahan atas argumen-argumen tersebut:
-          Banyak ayat-ayat dalam Quran yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah. Dan Rasulullah sendiri banyak memberikan perintah, larangan, dan ajaran-ajaran lain melalui hadits. Jadi kalau memang mengikuti Quran, pasti mau mengikuti hadits, karena banyak ayat-ayat dalam Quran yang memerintahkan seperti itu.
-          Jika paham inkar sunnah ini benar-benar diterapkan secara konsisten, maka akan banyak ajaran-ajaran Islam yang hilang atau berubah. Misal: (1) shalat wajib 5 waktu sehari, akan menjadi 3 waktu sehari, karena di dalam Quran hanya ada 3 waktu shalat wajib yang disebutkan (subuh, asar, isya); (2) syahadat berubah menjadi “isyhadu bi anna muslimuun”, bukan “asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammad ar-rasuulullaah” karena memang tidak ada dalam Quran; (3) tidak ada tata cara penguburan jenazah dalam Quran, jadi bagaimana cara menguburkan jenazah untuk orang-orang inkarussunnah? ; (4) dan lain-lain.
-          Penulisan hadits dan kajian ilmu hadits merupakan kemaslahatan yang sangat besar. Rasulullah melarang untuk menulis hadits pada masa itu, karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Quran. Setelah Quran sudah dibukukan, maka hadits pun juga bisa ditulis karena tidak dikhawatirkan akan tercampur dengan Quran, dan agar lebih mudah dipelajari oleh kaum muslimin. Ini sama halnya dengan pembukuan Quran, di mana di masa Rasulullah tidak ada yang namanya pembukuan semacam ini. Tetapi ini perlu dilakukan untuk kemaslahat yang besar dan menghindari madharat yang besar pula (yakni hilangnya teks atau hafalan, baik Quran maupun hadits).
-          Adanya pengklasifikasian hadits bukan berarti meragukan kebenaran hadits sebagai pedoman. Karena jelas dalam Quran disebutkan perintah untuk mentaati ajaran Rasulullah, dan Rasulullah memberikan banyak ajaran Islam melalui hadits.

Konsep Tuhan Menurut Islam dan Agama-agama

Ø  Pembicara memaparkan mengenai isu pluralisme, yang pada intinya adalah “setiap agama merupakan jalan menuju kebenaran, dengan langkah dan cara-cara yang berbeda” dan “semua agama pada hakikatnya memiliki 1 Tuhan, tetapi dalam nama yang berbeda-beda sesuai agama masing-masing”. Ini juga merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh beberapa pemikir dan cendekiawan agama dari kalangan orientalis dan barat.
Ø  Penyebaran paham pluralisme ini tidak lepas dari unsur politis dan kepentingan beberapa pihak, dengan salah satu buktinya yakni adanya pendanaan yang besar dari barat untuk pelaksanaan program-program pluralisme ini. Ada beberapa kalangan gereja (pastor) yang setuju penyebaran paham pluralisme, tetapi jangan di kalangan orang kristen. Meski demikian ada juga sebagian kalangan gereja yang juga mau menerima paham ini.
Ø  Pembicara memaparkan kajian tentang 5 agama utama (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha) secara ilmiah. Masing-masing agama tersebut dikaji, bagaimana konsep ketuhanannya, apa dan bagaimana sumber pedomannya (kitab sucinya). Titik tekan pada konsep ketuhanan, yang berkaitan dengan pedoman/kitab sucinya.
Ø  Kesimpulannya: masing-masing agama tersebut memiliki konsep ketuhanan sendiri-sendiri, dan pedoman yang berbeda pula. Satu sama lain tidak ada sangkut-pautnya. Terutama Islam, karena jelas bahwa konsep ketuhanan Islam tidak membuka pintu ijtihad (artinya bersifat qath’i, diyakini apa adanya); Allah mengenalkan diri-Nya sendiri sebagai satu-satunya Tuhan. Berbeda dengan agama lain:
-          Yahudi: berpedoman pada talmud, yang ada kontroversi di dalamnya.
-      Kristen: trinitas, yang sebenarnya tidak ada ayat dalam injil yang mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan.
-          Hindu: Ada bermacam-macam Dewa.
-          Buddha: ada dikotomi Tuhan.
Jika memang berbeda, kenapa disamakan.

Pluralisme Liberal vs Toleransi Islam
Ø  Isu utama yang dimunculkan adalah bahwa liberalisme merupakan solusi untuk menghilangkan fanatisme agama dan dapat menciptakan kerukunan umat beragama. Dengan kata lain, konsep ini menyerupai dengan pluralisme. Paham-paham liberal dimasukkan ke dalam pemahaman para pemeluk agama agar tidak merasa paling benar sendiri, sehingga bisa menghormati kebenaran agama lain. Jadi, kerukunan umat beragam yang dimaksud adalah toleransi untuk bisa menerima agama lain dalam tataran teologis (ideologi / keyakinan-keyakinan pokok). Prakteknya, muncul kegiatan-kegiatan seperti: do’a bersama antar agama, natalan bersama, pengajian bersama, nikah lintas agama, dan sebagainya.
Ø  Toleransi sebenarnya adalah sikap menerima sesuatu yang ada pada diri orang lain apa adanya. Jadi, sekiranya menurut kita dia salah, tetap kita katakan bahwa dia salah dan kita terima kenyataan tersebut. Dalam konteks agama Islam, toleransi dapat diistilahkan dengan tasamuh (bermudah-mudah), yakni bermudah-mudah dengan pemeluk agama lain dalam hal
Ø  Toleransi yang digaungkan oleh kalangan liberal adalah toleransi yang rancu dan tidak bisa diterima secara nalar/logis. Implikasinya justru akan membuat masalah ataupun kerancuan yang baru. Jika toleransi yang dimaksud sudah menjamah tataran teologis, maka pasti akan menyebabkan melemahnya gairah/semangat para pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Mereka akan menjadi malas beribadah, karena merasa bahwa agama lain juga benar sehingga keyakinan pada ajaran agamanya sendiri meluntur. Dan ini pernah terbukti di eropa, di mana sedikit orang yang mau berangkat ke gereja. Bagi mereka, agama menjadi urusan pribadi, sehingga tidak mau atau malas membicarakannya di ranah publik. Sekulerisme pun berkembang, sehingga ajaran agama tidak bisa menjamah aspek-aspek kehidupan manusia yang lain. Ujung-ujungnya justru akan menghilangkan eksistensi agama dari kehidupan manusia, karena keimanan mereka pada agama sudah meluntur. Unsur relativitas kembali berperan di sini, di mana kebenaran adalah relatif, tidak bisa diklaim oleh salah satu agama saja. Relativitas akan menjadi agama baru, dan dampaknya begitu besar pada kehidupan masyarakat. Moralitas akan menurun drastis, dan pastilah kegoncangan batin/ruhani akan melanda umat manusia jika mengikuti relativitas ini.
Ø  Islam telah mengenal toleransi lebih dari pada apa yang digaung-gaungkan oleh para pengusung liberalisme ini, bahkan toleransi adalah bagian dari ajaran Islam. Toleransi dalam Islam tidak sekedar teori tanpa bukti seperti yang diusung oleh para penyeru SEPILIS itu. Toleransi dalam Islam ada teorinya dan ada praktek nyata yang telah tercatat dalam lembaran sejarah. Di antaranya:
-          Disebutkan dalam riwayat sejarah, ketika masa kekhalifahan Umar bin Khatthab. Ketika itu beliau melakukan penaklukkan-penaklukkan sehingga wilayah kekuasaan Islam meluas. Ada kisah pengakuan seorang pendeta kristen yang ketika pasukan Islam menyerbu wilayah tersebut, dia merasa takut jikalau pasukan Islam akan menghancurkan gereja dan membunuh semua orang kristen yang tidak mau masuk Islam. Tetapi, ternyata kenyataannya berbeda 180 derajat dari apa yang dia bayangkan. Umat Islam saat itu tidak sedikitpun merusak tempat-tempat ibadah dan tidak membunuh orang-orang yang tidak mau masuk Islam. Mereka hanya diminta untuk membayar jizyah, dan setelah itu darah dan harta mereka dijamin keamanannya. Demikian juga aktivitas ibadah mereka.
Karena dalam Islam memang ada aturan yang jelas ketika berperang. Di antaranya seperti: dilarang membunuh wanita, anak-anak dan orang tua; dilarang merusak tempat-tempat ibadah, dilarang merusak pepohonan dan sebagainya. Setelah wilayah ditaklukkan, penduduknya diminta masuk Islam. Bagi yang tidak bersedia, maka diminta untuk membayar jizyah sebagai gantinya, dan akan dilindungi harta dan darahnya. Jizyah yang ditetapkan bagi kafir dzimmi itu pun bagi mereka yang mampu. Yang tidak tetap diberi perlindungan. Jadi, Islam menaklukkan suatu wilayah untuk membuka (pintu Islam), membebaskan dan memberikan kedamaian kepada penduduk wilayah tersebut.
Berbeda dengan pasukan salib yang pernah membantai ratusan ribu kaum muslimin pada masa itu; ataupun pasukan amerika dan sekutunya kini yang menyerang, menjarah serta menteror negeri-negeri Islam di timur tengah secara membabi buta, hanya menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan.
-          Islam tidak memaksakan hal-hal yang berat kepada umatnya. Ketika ada kondisi-kondisi yang berat, Islam memberikan rukhshah terhadap beberapa ibadah. Dengan demikian, pemeluknya tetap bisa menjalankan ibadah dengan lebih mudah dalam kondisi yang sulit tersebut.
-          Islam mengajarkan untuk berlaku baik dalam muamalah kepada semua orang, baik muslim maupun non-muslim, selama mereka tidak memerangi Islam. Rasulullah sendiri mengatakan bahwa barangsiapa mengganggu kafir dzimmi maka beliau lah yang akan menjadi musuhnya. Demikian juga dalam adab-adab bertetangga, Islam mengajarkan untuk memperlakukan tetangga dengan baik, baik mereka muslim maupun non-muslim.
-          Dalam sejarah, pernah orang-orang non-muslim diberi beberapa jabatan di pemerintahan (yang tidak strategis), seperti sekretaris dan sejenisnya. Ini pernah terjadi pada masa kekhalifahan Turki Utsmani yang saat itu dipimpin Sultan Sulaiman Agung (1520 - 1566). Ini menunjukkan bahwa Islam memang bertasamuh dalam hal muamalah yang sama-sama mendatangkan maslahat.
-          Dan lain sebagainya. Ajaran Islam selalu memberikan kemaslahatan.
Ø  Jadi, toleransi dalam Islam begitu luas, tetapi tidak masuk dalam ranah teologis. Toleransi berlaku dalam ranah muamalah, dan inilah yang logis secara nalar (dan tentunya terasa pas di hati), serta secara fakta di lapangan maupun dari lembar-lembar sejarah telah dibuktikan dengan nyata. Selain itu, dengan adanya bukti riil dalam sejarah seperti itu, maka jangan lagi takut jika Islam berkuasa di Indonesia, karena Islam menguasai untuk menebar kebaikan dan keadilan.

Salafiyah: Sejarah dan Konsepsi

Ø  Tujuan utama diadakannya pembahasan ini berkaitan dengan ukhuwah Islamiyah sesama muslim, yakni saling mengingatkan satu sama lain. Ini hal penting yang perlu dipahami, sehingga tidak salah niat dan tujuan ketika membahas hal ini. Sekali lagi, untuk ukhuwah Islamiyah, mengingatkan saudara sesama muslim.
Ø  Pembicara memberikan bahasan awal mengenai apa itu salaf, salafiyah/salafy, sejarah berdirinya, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara umum. Salah satu poin penting yang ditekankan adalah, di sini yang dibicarakan adalah ‘sebagian kaum muslimin yang menyatakan diri bermanhaj salaf, kemudian secara eksklusif mengklaim benarnya pandapatnya dan menyalahkan (bahkan sampai menganggap menyimpang) kelompok-kelompok Islam lain yang tidak sejalan dengan pendapatnya. Digarisbawahi kata “eksklusif”, karena ini penting. Jadi yang disoroti dalam pembahasan ini adalah yang eksklusif ini.

Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga bermanfaat...